Polemik Seputaran Kerajaan Badau- Pengetahuan masyarakat menjadi simpang-siur mengenai sejarah masa lalu Belitong, khusus dari abad enambelas hingga abad ke sembilanbelas. Menjadi penting dibahas dan dikaji lebih lanjut agar tak menyesatkan. Ada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan guna meluruskan kesimpang-siuran tersebut. Terutama mengenai polemik tentang Kerajaan Badau yang di muat di harian lokal Pos Belitung, sekitar pertengahan 2010.Menurut buku ‘Sejarah Ringkas Belitong’ disusun oleh R. Osberger, terjemahan D.S Kamil diterbitkan 1 Maret 1962. Kutipan halaman 4 : Keturunan dari Ronggo Udo atau dari “Raja-Raja Badau” seperti juga disebutkan begitu, pada keturunan ke empat tidak lagi turunan laki-laki. Bila kira-kira pada waktu itu (abad ke 17) Seorang bangsawan Jawa lain bernama Kiai Mas’ud atau Kiai Maksud yang di Belitung, juga terkenal sebagai Kiai Gegedeh Yakob, yang menurut kisah turun-temurun adalah putra seorang raja di Jawa, datang di tanah Belitong melalui Balok. Memberikan putrinya Nyai Dewi alias Nyayu Siti Kesuma, menaklukan raja Ronggo Udo yang terakhir, menjadikannya Ngabehi dan mengawini putrinya. Kiai Mas’ud mengganti raja ke empat, dari kerajaan Ronggo dan moyang daripada keturunan baru”Sejarah masa lalu Belitong dalam buku ‘Sejarah Perjuangan Bangka Belitung’ ditulis Husnial Husin Abdullah diterbitkan 1983. Pada halaman 208 dan 209, Menegaskan: Pertama, pada kira-kira abad ke 15 datang ke Belitung Ki Ronggo alias Kiai Ronggo Udo yang kemudian dikenal dengan nama “Datuk Mayang Geresik”. Dua: Kiai Mas’ud berasal dari keturunan langsung Bupati Matarm yang pertama Kiai Gede Pemanahan 1546-1582) Tiga: Kiai Masud dalam usaha menguasai seluruh Belitung berhasil menaklukan Raja Badau dan memperistri putrinya Nyai Dewi Kesuma. Empat: Kiai Mas’ud menggantikan raja ke IV dari keturunan Ronggo Udo dan Moyang dari keturunan baru. Empat, Badau dijadikan bagian dari Kerajaan Balok yang dikepalai seorang Ngabehi, begitu pula dengan daerah Belantu.Dan dari manuskrif yang lebih tua, ditulis Kiai Agoes Hadji Abdul Hamid, 10 Februari 1934. Menyatakan data yang sama: bahwa Kiai Ronggo Udo menikah dengan anak Raja Palembang, hasil pernikahan tersebut hanya memilki putri bukan putra, yaitu Nyi Ayu Siti Kusuma. Kiai Mas’sud menikahi putri Ronggo Udo serta menduduki takhta tidak dengan perlawanan. Ki Ronggo Udo lengser karena faktor usia maka diserahkan secara sukarela, lantas beliau kembali lagi ke Badau.Ketiga sumber ini dengan tegas menyatakan bahwa Kerajaan Badau yang dipimpin oleh Ronggo Udo atau Datuk Mayang Geresik lantas beralih kepada penguasa baru Kerajaan Balok setelah menikahi putri tunggalnya. Kemudian Badau menjadi Ngabehi bagian dari Kerajaan Balok. Berdasarkan sejarah di atas, sangatlah tidak logis jika akhir-akhir ini ada yang menyatakan diri sebagai Raja Badau ke X (Pos Belitung, Minggu, 24 Oktober 2010) Karena data yang ditulis tiga sumber di atas sangat jelas bahwa ketika Kerajaan Badau “berpindah” ke tangan penguasa Kerajaan Balok, otomatis Badau hanya menjadi Ngabehi. Logika sejarah di Nusantara bahwa hanya putra laki-laki yang berhak menduduki takhta. Karena itu tak heran jika “Lembaga Adat Belitung” memprotes kehadiran “Raja Badau X” ( Pos Belitung, Kamis, 28 Oktober 2010)Tak perlulah meninjau dan mempertanyakan tentang apa dan mengapa sehingga munculnya “Raja Badau X”. Namun sebaiknya meninjau kembali pemunculan “Raja” dengan mengingat bahwa perubahan wilayah Nusantara yang dulu terdiri dari berbagai kerajaan, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Belitung lebur di dalamnya. Namun jika hendak sekedar memelihara budaya dan sejarahnya, sebaiknya berhati-hatilah menggunakan istilah yang dapat merancukan sejarah itu sendiri. Meskipun negara menjamin pemeliharaan kebudayaan lewat Amandemen Pasal 32 Ayat (1) UUD. Masyarakat tentu berharap sekali ada logika sejarah yang benar dalam hal ini. Karenanya, sepantasnya jika hanya menggunakan istilah “Turunan X Raja Badau” itu akan terasa pas dan logis daripada “Raja BadauX” yang dipublisir tanpa tanda petik. Seputar dipublisirnya “Kerajaan Badau” telah menjadi polemik menarik dan panjang sehingga Harian Pos Belitung 24 November 2010, memberikan “NB” guna mengakhirinya, di opini berjudul “Pertanggungjawaban Keturunan Raja Badau”N g a b e h i B a d a uMenurut catatan sejarah, baik yang ditulis oleh jurutulis Kelurahan Badau bernama Baiman (Data tersebut diperkirakan tahun 1936, ketika KA Mohamad Alie dari Badau dan KA Umar dari membalong, mereka memberikan data tertulis kepada KA Abdul Hamid untuk dituliskan sebagai Sejarah Belitong. Data keturunan Raja Badau ditulis oleh Baiman dan Ngabehi Belantu ditulis oleh KA Umar, kedua arsif itu ditulis memakai mesis ketik. Surat pengantar arsif tentang Ngabehi Belantu, bertanggal 10 September 1936) Dari data itu sangat jelas bahwa Ngabehi Badau sebenarnya mulai berlaku sejak turunan ke empat jika ditarik dari Datuk Moyang Geresik, yang pada masa itu di bawah Depati Cakraningrat III Ki Ganding Kerajaan Balok (1696-1700). Ki Ganding adalah cucu dari pasangan Ki Gede Yakob dan Nyi Ayu Kusuma yang tak lain anak perempuan tunggal dari Datuk Mayang Geresik. Sebelum pangkat ngabehi diberikan pada Ngabehi Batin Patah. Turunan Raja Badau dari Datuk Mayang Gresik hanyalah menyandang gelar “Batin”. Gelar atau pangkat tersebut sama juga dipakai oleh pemimpin di Bangka di masanya, misalnya Batin Tikal, ada di bawah Depati Bahrin atau sesudahnya, yaitu Depati Amir. Mengapa gelar Ngabehi menggantikan gelar Batin? Itu tak lain kerena merujuk kebiasaan keraton Mataram. Ngabehi berarti “keluarga keraton” Gaya kepemimpinan Ki Ganding merujuk sistem pemerintahannya yang bertolak belakang dengan pendahulunya, sistem pajak pun mulai berlaku pada ini, di mana Depati memberikan kewenangan pada ngabehi untuk memberlakukan “Hukum Tetukun”
Dengan seringnya Depati Cakraningrat III pergi ke Mataram, beliau meninggal di perjalanan, makamnya ada di Pamanukan Jawa Barat.C a k r a n i n g r a t B a l o k d a n M a d u r aSeringkali mengelirukan, antara gelar Cakraningrat yang disandang Depati Raja Balok dengan gelar Cakraningrat yang disandang oleh Bangsawan Madura. Jika melihat dari tahunnya, jelas sekali Cakraningrat I dari Belitong lebih dahulu; Cakraningrat I tahun 1618, sedangkan Cakraningrat Madura baru tahun 1624, ketika Sultan Agung Mataram menaklukkan Madura Barat, beliau mengangkat anak bangsawan Madura bernama Raden Prasena menjadi Cakraningrat. Sedangkan gelar Ki Agus (KA) sangat jelas dari pemberian keluarga Mataram bukan dari Palembang seperti yang ditulis oleh saudara kita, Salim YAH (Hotline bertajuk “Silsilah dan Peninggalan Kerajaan Badau” Pos Belitung, Selasa, 9 November 2010) Keluarga Kerajaan Balok memiliki Silsilah lengkap ditulis tahun 1870, dibuat oleh peneliti Belanda memakai kertas berhologram Kerajaan Belanda. Silsilah tersebut memiliki catatan pendahuluan dan catatan penutup. Pada catatan pendahuluan, substansinya sangat jelas mengatakan: Depati Cakraningrat berasal keluarga Mangkub Mataram Raja Jawa. Sedang pada catatan penutupnya, subtansinya sebagai berikut: Pada Ayat I, menegaskan bahwa Depati Cakraningrat menguasai sekalian Pulau Belitong. Ayat II, menegaskan bahwa keturunan ini menyandang gelar KA dan NA. Ayat V, menegaskan bahwa Depati atas kekuasaanya berhak memberikan gelar “KA” dan Ngabehi pada seorang “baik” dan berjasa pada kerajaan.Jika melihat dari Ayat V catatan penutup tersebut, sangat jelas sekali Belanda tidak campur tangan dalam pemberian gelar “KA” pada seseorang, seperti yang ditulis saudara Salim YAH (Hotline di Pos Belitung, Selasa 9 November 2010) pada butir No.4. Tetapi Pemerintah Belanda hanya membuat surat keputusan dengan mengeluarkan Belsuit, tanpa mengurusi masalah adat istiadat. Bagaimana gelar KA bisa disandang mereka yang di luar garis keturunan langsung? Tentu saja itu mengacu pada Ayat V catatan penutup silsilah Raja Balok tersebut. Mereka yang diberi gelar di luar silsilah itu, di tuliskan di sana. Seperti pemberian gelar yang lebih awal: Anak perempuan Depati Cakraningrat IV yaitu Nyi Ayu Muncar menikah dengan Mudin maka ia menjadi KA Mudin.Sedang gelar KA atau Ki Agus yang kini ada di Palembang adalah gelar dari turunan Raja Balok V atau Depati Cakraningrat V Ki Agus Abudin, beliau tinggal di sana sejak 1755, setelah takhtanya diduduki adiknya Ki Agus Usman. Makamnya ada di Pelayang Palembang. Susunan Silsilah Trah Raja Balok. Cakraningrat I Ki Gede Yakob alias Kiai Masud (1618-1696). Cakraningrat II Ki Mending alias KA Abdullah (1696-1770). Cakraningrat III KA Ganding. Cakraningrat IV KA Bustam alias Ki Galong (1700-1740). Cakraningrat V KA Abudin (1740-1755). Cakraningrat KA Usman (1755-1785). Cakraningrat VII KA Hatam (1785-1815). Cakraningrat VIII KA Moh. Rahad (1812-1854). Depati Cakraningrat IX KA Moh Saleh (1856-1873). Terakhir trah yang memerintah “Kerajaan Balok” yaitu KA Endek (1879-1890)Mengapa Balok kini hanya menjadi nama kampong dan di mana bisa melihat peninggalan pusaka Balok? Balok menjadi sepi sama halnya dengan Kampung Cerurok. Itu karena terjadi perpindahan pemerintahan. Pusat Pemerintahan terakhir trah Kerajaan Balok yaitu di Kota Tanjungpandan (Pada masa Cakraningrat VIII, Depati Ki Agus Rahad, 1821-1854, beliau membuka dan merupakan pendiri Kota Tanjungpandan Belitong) Peninggalan Kerajaan Balok dapat di lihat di Museum Kota Tanjung Pandan.
Polemik Seputaran Kerajaan Badau- Pengetahuan masyarakat menjadi simpang-siur mengenai sejarah masa lalu Belitong, khusus dari abad enambelas hingga abad ke sembilanbelas. Menjadi penting dibahas dan dikaji lebih lanjut agar tak menyesatkan. Ada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan guna meluruskan kesimpang-siuran tersebut. Terutama mengenai polemik tentang Kerajaan Badau yang di muat di harian lokal Pos Belitung, sekitar pertengahan 2010.Menurut buku ‘Sejarah Ringkas Belitong’ disusun oleh R. Osberger, terjemahan D.S Kamil diterbitkan 1 Maret 1962. Kutipan halaman 4 : Keturunan dari Ronggo Udo atau dari “Raja-Raja Badau” seperti juga disebutkan begitu, pada keturunan ke empat tidak lagi turunan laki-laki. Bila kira-kira pada waktu itu (abad ke 17) Seorang bangsawan Jawa lain bernama Kiai Mas’ud atau Kiai Maksud yang di Belitung, juga terkenal sebagai Kiai Gegedeh Yakob, yang menurut kisah turun-temurun adalah putra seorang raja di Jawa, datang di tanah Belitong melalui Balok. Memberikan putrinya Nyai Dewi alias Nyayu Siti Kesuma, menaklukan raja Ronggo Udo yang terakhir, menjadikannya Ngabehi dan mengawini putrinya. Kiai Mas’ud mengganti raja ke empat, dari kerajaan Ronggo dan moyang daripada keturunan baru”Sejarah masa lalu Belitong dalam buku ‘Sejarah Perjuangan Bangka Belitung’ ditulis Husnial Husin Abdullah diterbitkan 1983. Pada halaman 208 dan 209, Menegaskan: Pertama, pada kira-kira abad ke 15 datang ke Belitung Ki Ronggo alias Kiai Ronggo Udo yang kemudian dikenal dengan nama “Datuk Mayang Geresik”. Dua: Kiai Mas’ud berasal dari keturunan langsung Bupati Matarm yang pertama Kiai Gede Pemanahan 1546-1582) Tiga: Kiai Masud dalam usaha menguasai seluruh Belitung berhasil menaklukan Raja Badau dan memperistri putrinya Nyai Dewi Kesuma. Empat: Kiai Mas’ud menggantikan raja ke IV dari keturunan Ronggo Udo dan Moyang dari keturunan baru. Empat, Badau dijadikan bagian dari Kerajaan Balok yang dikepalai seorang Ngabehi, begitu pula dengan daerah Belantu.Dan dari manuskrif yang lebih tua, ditulis Kiai Agoes Hadji Abdul Hamid, 10 Februari 1934. Menyatakan data yang sama: bahwa Kiai Ronggo Udo menikah dengan anak Raja Palembang, hasil pernikahan tersebut hanya memilki putri bukan putra, yaitu Nyi Ayu Siti Kusuma. Kiai Mas’sud menikahi putri Ronggo Udo serta menduduki takhta tidak dengan perlawanan. Ki Ronggo Udo lengser karena faktor usia maka diserahkan secara sukarela, lantas beliau kembali lagi ke Badau.Ketiga sumber ini dengan tegas menyatakan bahwa Kerajaan Badau yang dipimpin oleh Ronggo Udo atau Datuk Mayang Geresik lantas beralih kepada penguasa baru Kerajaan Balok setelah menikahi putri tunggalnya. Kemudian Badau menjadi Ngabehi bagian dari Kerajaan Balok. Berdasarkan sejarah di atas, sangatlah tidak logis jika akhir-akhir ini ada yang menyatakan diri sebagai Raja Badau ke X (Pos Belitung, Minggu, 24 Oktober 2010) Karena data yang ditulis tiga sumber di atas sangat jelas bahwa ketika Kerajaan Badau “berpindah” ke tangan penguasa Kerajaan Balok, otomatis Badau hanya menjadi Ngabehi. Logika sejarah di Nusantara bahwa hanya putra laki-laki yang berhak menduduki takhta. Karena itu tak heran jika “Lembaga Adat Belitung” memprotes kehadiran “Raja Badau X” ( Pos Belitung, Kamis, 28 Oktober 2010)Tak perlulah meninjau dan mempertanyakan tentang apa dan mengapa sehingga munculnya “Raja Badau X”. Namun sebaiknya meninjau kembali pemunculan “Raja” dengan mengingat bahwa perubahan wilayah Nusantara yang dulu terdiri dari berbagai kerajaan, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Belitung lebur di dalamnya. Namun jika hendak sekedar memelihara budaya dan sejarahnya, sebaiknya berhati-hatilah menggunakan istilah yang dapat merancukan sejarah itu sendiri. Meskipun negara menjamin pemeliharaan kebudayaan lewat Amandemen Pasal 32 Ayat (1) UUD. Masyarakat tentu berharap sekali ada logika sejarah yang benar dalam hal ini. Karenanya, sepantasnya jika hanya menggunakan istilah “Turunan X Raja Badau” itu akan terasa pas dan logis daripada “Raja BadauX” yang dipublisir tanpa tanda petik. Seputar dipublisirnya “Kerajaan Badau” telah menjadi polemik menarik dan panjang sehingga Harian Pos Belitung 24 November 2010, memberikan “NB” guna mengakhirinya, di opini berjudul “Pertanggungjawaban Keturunan Raja Badau”N g a b e h i B a d a uMenurut catatan sejarah, baik yang ditulis oleh jurutulis Kelurahan Badau bernama Baiman (Data tersebut diperkirakan tahun 1936, ketika KA Mohamad Alie dari Badau dan KA Umar dari membalong, mereka memberikan data tertulis kepada KA Abdul Hamid untuk dituliskan sebagai Sejarah Belitong. Data keturunan Raja Badau ditulis oleh Baiman dan Ngabehi Belantu ditulis oleh KA Umar, kedua arsif itu ditulis memakai mesis ketik. Surat pengantar arsif tentang Ngabehi Belantu, bertanggal 10 September 1936) Dari data itu sangat jelas bahwa Ngabehi Badau sebenarnya mulai berlaku sejak turunan ke empat jika ditarik dari Datuk Moyang Geresik, yang pada masa itu di bawah Depati Cakraningrat III Ki Ganding Kerajaan Balok (1696-1700). Ki Ganding adalah cucu dari pasangan Ki Gede Yakob dan Nyi Ayu Kusuma yang tak lain anak perempuan tunggal dari Datuk Mayang Geresik. Sebelum pangkat ngabehi diberikan pada Ngabehi Batin Patah. Turunan Raja Badau dari Datuk Mayang Gresik hanyalah menyandang gelar “Batin”. Gelar atau pangkat tersebut sama juga dipakai oleh pemimpin di Bangka di masanya, misalnya Batin Tikal, ada di bawah Depati Bahrin atau sesudahnya, yaitu Depati Amir. Mengapa gelar Ngabehi menggantikan gelar Batin? Itu tak lain kerena merujuk kebiasaan keraton Mataram. Ngabehi berarti “keluarga keraton” Gaya kepemimpinan Ki Ganding merujuk sistem pemerintahannya yang bertolak belakang dengan pendahulunya, sistem pajak pun mulai berlaku pada ini, di mana Depati memberikan kewenangan pada ngabehi untuk memberlakukan “Hukum Tetukun”
Dengan seringnya Depati Cakraningrat III pergi ke Mataram, beliau meninggal di perjalanan, makamnya ada di Pamanukan Jawa Barat.C a k r a n i n g r a t B a l o k d a n M a d u r aSeringkali mengelirukan, antara gelar Cakraningrat yang disandang Depati Raja Balok dengan gelar Cakraningrat yang disandang oleh Bangsawan Madura. Jika melihat dari tahunnya, jelas sekali Cakraningrat I dari Belitong lebih dahulu; Cakraningrat I tahun 1618, sedangkan Cakraningrat Madura baru tahun 1624, ketika Sultan Agung Mataram menaklukkan Madura Barat, beliau mengangkat anak bangsawan Madura bernama Raden Prasena menjadi Cakraningrat. Sedangkan gelar Ki Agus (KA) sangat jelas dari pemberian keluarga Mataram bukan dari Palembang seperti yang ditulis oleh saudara kita, Salim YAH (Hotline bertajuk “Silsilah dan Peninggalan Kerajaan Badau” Pos Belitung, Selasa, 9 November 2010) Keluarga Kerajaan Balok memiliki Silsilah lengkap ditulis tahun 1870, dibuat oleh peneliti Belanda memakai kertas berhologram Kerajaan Belanda. Silsilah tersebut memiliki catatan pendahuluan dan catatan penutup. Pada catatan pendahuluan, substansinya sangat jelas mengatakan: Depati Cakraningrat berasal keluarga Mangkub Mataram Raja Jawa. Sedang pada catatan penutupnya, subtansinya sebagai berikut: Pada Ayat I, menegaskan bahwa Depati Cakraningrat menguasai sekalian Pulau Belitong. Ayat II, menegaskan bahwa keturunan ini menyandang gelar KA dan NA. Ayat V, menegaskan bahwa Depati atas kekuasaanya berhak memberikan gelar “KA” dan Ngabehi pada seorang “baik” dan berjasa pada kerajaan.Jika melihat dari Ayat V catatan penutup tersebut, sangat jelas sekali Belanda tidak campur tangan dalam pemberian gelar “KA” pada seseorang, seperti yang ditulis saudara Salim YAH (Hotline di Pos Belitung, Selasa 9 November 2010) pada butir No.4. Tetapi Pemerintah Belanda hanya membuat surat keputusan dengan mengeluarkan Belsuit, tanpa mengurusi masalah adat istiadat. Bagaimana gelar KA bisa disandang mereka yang di luar garis keturunan langsung? Tentu saja itu mengacu pada Ayat V catatan penutup silsilah Raja Balok tersebut. Mereka yang diberi gelar di luar silsilah itu, di tuliskan di sana. Seperti pemberian gelar yang lebih awal: Anak perempuan Depati Cakraningrat IV yaitu Nyi Ayu Muncar menikah dengan Mudin maka ia menjadi KA Mudin.Sedang gelar KA atau Ki Agus yang kini ada di Palembang adalah gelar dari turunan Raja Balok V atau Depati Cakraningrat V Ki Agus Abudin, beliau tinggal di sana sejak 1755, setelah takhtanya diduduki adiknya Ki Agus Usman. Makamnya ada di Pelayang Palembang. Susunan Silsilah Trah Raja Balok. Cakraningrat I Ki Gede Yakob alias Kiai Masud (1618-1696). Cakraningrat II Ki Mending alias KA Abdullah (1696-1770). Cakraningrat III KA Ganding. Cakraningrat IV KA Bustam alias Ki Galong (1700-1740). Cakraningrat V KA Abudin (1740-1755). Cakraningrat KA Usman (1755-1785). Cakraningrat VII KA Hatam (1785-1815). Cakraningrat VIII KA Moh. Rahad (1812-1854). Depati Cakraningrat IX KA Moh Saleh (1856-1873). Terakhir trah yang memerintah “Kerajaan Balok” yaitu KA Endek (1879-1890)Mengapa Balok kini hanya menjadi nama kampong dan di mana bisa melihat peninggalan pusaka Balok? Balok menjadi sepi sama halnya dengan Kampung Cerurok. Itu karena terjadi perpindahan pemerintahan. Pusat Pemerintahan terakhir trah Kerajaan Balok yaitu di Kota Tanjungpandan (Pada masa Cakraningrat VIII, Depati Ki Agus Rahad, 1821-1854, beliau membuka dan merupakan pendiri Kota Tanjungpandan Belitong) Peninggalan Kerajaan Balok dapat di lihat di Museum Kota Tanjung Pandan.

Dengan seringnya Depati Cakraningrat III pergi ke Mataram, beliau meninggal di perjalanan, makamnya ada di Pamanukan Jawa Barat.
0 komentar:
Posting Komentar